Efek Donald Trump, Sepak Bola AS Juga Ikut Gundah

Amar eksekutif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal pelarangan masuk bagi masyarakat dari tujuh negara berpenduduk muslim meresahkan sebagian kalangan. Tak terkecuali sepak bola dalam negeri AS.

Perintah Trump yang dikeluarkan pada Jumat (27/1/2017), meski belakangan disebut tidak dipahami cukup detail, memicu sejumlah protes di berbagai kota di AS. Kapten kesebelasan nasional AS Michael Bradley pun mengecam kebijakan Trump ketika diwawancara Grant Wahl dari Sports Illustrated.

Bahkan pemain 29 tahun itu menegaskan kembali sikapnya melalui status di Instagram. Dia mengakui bahwa komentarnya kepada Wahl “terlalu lunak” sehingga merasa perlu menegaskan lagi.

Bradley awalnya berharap Presiden Trump bakal berbeda dari masa kampanye. Sikap xenofobia, misoginis, dan retorika narsistik akan berubah menjadi rendah hati dan memimpin negeri dengan lembut.

Namun harapan Bradley tidak bersambut. “Dan pelarangan masuk bagi orang muslim adalah contoh terbaru dari seseorang yang tak cocok untuk memimpin negara ini,” tulisnya.

Kecaman senada datang dari pemain sepak bola putri AS, Alex Morgan, melalui kicauan Twitter.

Sikap para bintang sepak bola AS, yang kebetulan orang kulit putih dan asli negeri tersebut, disambut positif federasi sepak bola AS (USSF). Bahkan Presiden USSF Sunil Gulati dan pelatih tim putra Bruce Arena memberi dukungan.

Persepakbolaan AS tentu akan kena imbas bila Trump berkeras menerapkan kebijakan anti-imigran. Saat kesebelasan AS bermain melawan Serbia B dalam partai persahabatan di San Diego, California, Ahad (29/1), sebagian besar pemainnya adalah putra imigran.

Jermaine Jones kelahiran Jerman, Darlington Nagbe lahir di Ligeria, Benny Feilhaber lahir di Brasil, dan Juan Agudelo kelahiran Kolombia. Lantas keluarga Jozy Altidore berasal dari Haiti, Jorge Villafana punya darah Meksiko, dan Sebastian Lleget ada darah Argentina.

Nagbe, misalnya, sedih dan terganggu melihat kebijakan Trump. Pemain berusia 26 ini mengaku pernah menjadi pengungsi, termasuk ibundanya.

“Saya tahu bagaimana penderitaan saat itu. Pindah ke AS adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi pada kami,” ujar Nagbe dikutip LA Times.

Washington Post (h/t The Inquirer) mengutip pendapat Andrei Markovits, guru besar University of Michigan. Markovits pernah menulis bahwa sepak bola AS adalah persimpangan budaya dan politik.

Singkatnya, sepak bola AS dikenal tak punya perbatasan. Kesebelasan AS, misalnya, telah mengunjungi 22 negara dalam empat tahun.

Lantas kompetisi sepak bola terbesar di AS, Major League Soccer (MLS), memiliki para pemain kelahiran 61 negara pada musim lalu. Salah seorang di antaranya adalah penyerang New England Revolution, Kei Kamara.

Pada usia 14, Kamara bersama keluarganya meninggalkan Sierra Leone yang tengah diamuk perang. Berkat program pengungsi, keluarga Kamara menetap di selatan California.

Kamara yang beragama Islam kemudian menjadi warga negara AS pada 2006.

Orang-orang seperti Kamara atau Steven Beitashour, pemain kelahiran California dari keluarga asal Iran beragama Kristen dan Islam, mungkin saja terpengaruh pada masa depan.

Namun ancaman paling besar menyasar program akademi dalam program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA). Pasalnya pemerintahan Trump berencana mencabut visa kerja bagi kalangan imigran ilegal, terutama dari Meksiko, dan membuat anak-anak dalam program DACA terancam.

Markovits menilai kebijakan pemerintahan Trump bisa membuat sepak bola AS terkucil dari dunia luar. Padahal AS sedang menggalang kerja sama dengan Meksiko (atau bersama Kanada) untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2026.

Gulati, musim panas lalu, mengatakan bahwa kemenangan Trump dalam pemilu bakal menyulitkan rencana AS untuk menggandeng Meksiko dan mengajukan usulan kepada FIFA. Apalagi FIFA dikenal anti-politik.

“AS bukan negara super power dalam sepak bola. Dia sangat bergantung pada sepak bola global, jadi berharaplah pada kebaikan dunia,” tutur Markovits.

Namun tak semua pesimistis. Gelandang AS Sacha Kljestan yang lahir dari keluarga imigran gelap Yugoslavia mengaku jijik pada kebijakan imigrasi Trump, tapi tetap berpikir positif.

“Saya tak pernah menjadi orang negatif, saya punya harapan demi masa depan. Saya berharap yang terbaik dan semoga kebaikan bakal menang,” tukas Kljestan yang menyatakan punya “jiwa Amerika”.

Source: 7up2

Permintaan maaf, untuk posting ini komentar ditutup